Sejak kecil, Kharisma Rizky Pradana mengidap autisme. Anak berusia 12 tahun ini sering melakukan perilaku repetitif, yaitu memukul-mukulkan kedua tangannya ke sebuah meja sembari bernyanyi. Kebiasaan ini terjadi ketika putra pasangan Dyah Pudji Lestari dan Sumirin itu mulai mengenyam pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang. "Ia (Kharisma --Red.) suka baca dan mendengarkan musik. Ke mana-mana selalu membawa tape kecil," kata Dyah, ibunda Kharisma, Ahad lalu.

Di SLB itulah aktivitas dan minat obsesif Kharisma diarahkan. Kebiasaan memukul meja sekolah menjadi sebuah karya. Siswa kelas VI itu punya bakat bernyanyi. Olah vokalnya lambat laun bertambah apik. Ia mampu menyanyikan berbagai macam lagu dengan suara merdu. Misalnya lagu anak-anak, pop, dangdut, dan daerah atau campursari. Daya ingat yang tinggi mengantarkannya meraih penghargaan Museum Rekor Indonesia (Muri). Ketika itu, tahun 2007, Muri menobatkan Kharisma sebagai penyandang autisme pertama yang hafal 250 lagu.

Kharisma adalah satu dari ratusan anak SLB yang berhasil menemukan bakat dalam dirinya. Pencarian bakat pada anak berkebutuhan khusus itu tak lain diprakarsai Ciptono. Pria kelahiran Semarang, 11 November 1963, ini mampu menguak bakat anak difabel. Selain bernyanyi seperti Kharisma, siswa lainnya dapat eksis pada bidang seni rupa, keterampilan visual, olahraga, modelling, dan menari. "Mereka (anak difabel) seperti emas dalam lumpur. Mereka perlu diberi kesempatan," ujar Ciptono.

Sebagai guru SLB, Ciptono tak sekadar bersosialisasi dan mendidik siswa. Lebih dari itu, ia berkomitmen menggali dan mengembangkan potensi bakat di balik keterbelakangan fisik dan mental. Dia tak mau anak difabel menjadi bahan ejekan dan dianggap sebagai warga kelas dua. Sebaliknya, ia percaya, setiap anak, termasuk yang difabel, memiliki kemampuan tertentu. Sehingga mereka kapan pun dapat bangkit dan hidup mandiri.

Optimisme itu didasarkan pada konsep multiple-intelligency. Yaitu, meskipun pada diri seseorang terdapat kekurangan dalam sebuah bidang, di bidang lain masih bisa eksis. Sebab, di balik kekurangan itu, pasti ada kelebihan. Multiple-intelligency dipraktekkan dengan mengasah bakat. Masing-masing anak dibebaskan melakukan apa yang mereka suka. Baik itu corat-coret gambar, menyulam, maupun bernyanyi.

Hal itu dilakukan berulang-ulang dan kontinu yang dipantau guru di bawah kendali Ciptono. Bagi anak difabel yang kemampuan motoriknya amat rendah atau penderita gangguan mental, ia punya metode tersendiri. Metodenya adalah dengan berlatih lewat aktivitas menusuk sate. Siswa diminta merangkai sate sesuai dengan sate yang sudah jadi. "Aktivitas ini dapat melatih daya motorik mereka," katanya.

Menurut Kepala SLB Negeri Semarang itu, selama mendidik harus memiliki prinsip sederhana, tapi tidak mudah dilakukan. Yakni mengajarlah dengan hati. Hal inilah yang belum terlihat pada kebanyakan guru SLB di Indonesia. Sejauh ini, pola ajar SLB secara umum terjebak pada formalitas semata. Tak mengherankan jika guru hanya mengajar sesuai dengan jam sekolah. Selebihnya, pemantauan perkembangan anak difabel hingga menggali bakat terpendam belum dilakukan secara optimal.

Ciptono melanjutkan, banyak pengalaman menarik yang diperolehnya selama bergelut dengan anak difabel. Ambil contoh, pada 2003, ia melakukan perjalanan dari Semarang ke Kudus. Di tengah perjalanan, ia bersama rombongan mampir di sebuah restoran untuk makan siang. Sesampai di lokasi, para penumpang turun dari dua mobil. Penumpang itu ada yang tunanetra, autis, dan penyandang cacat tubuh lainnya. Hanya Ciptono bersama sopir yang normal fisik dan mentalnya.

Pada saat makan berlangsung, anak-anak difabel itu tak memerlukan bantuan orang lain, termasuk dari Ciptono dan sang sopir. Yang terjadi, justru para penyandang cacat itu saling membantu. Sementara itu, pengunjung restoran lainnya banyak yang terkesima atas peristiwa tersebut. Pengidap cacat itu seperti manusia yang kembali normal.

Atas dedikasinya itu, Ciptono menerima banyak penghargaan. Ia mendapat penghargaan sebagai Guru Berdedikasi Tingkat Nasional dari Menteri Pendidikan Nasional pada 2005. Oleh Muri, Ciptono dianugerahi penghargaan karena perannya sebagai pemrakarsa dan pembimbing prestasi unik bagi anak difabel. Kini penghargaan dari Muri itu terkumpul sebanyak 14 kategori. Yang teranyar, Desember tahun lalu, Muri mencatatnya sebagai pemrakarsa kelompok band autis pertama di Indonesia.

Vokalis kelompok band itu adalah Kharisma Rizky Pradana, yang hafal 250 lagu tersebut. Mereka bahkan telah merilis album anak-anak dengan tajuk "Education for All" dan diklaim tercatat sebagai grup band autis pertama di dunia.

Diposting oleh SUPER HERBALIS Selasa, 12 Juni 2012

0 komentar

Posting Komentar

Subscribe here