Ganti sistem ujian nasional dengan menerapkan 

sistem open book test dan tes terstandar

 

Sistem ujian nasional kita hanya menjatuhkan sanksi tidak lulus kepada siswa tapi para guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan provinsi, dan kabupaten / kota serta ketua yayasan pendidikan swasta terbebas dari sanksi.

Tiap anak dilahirkan dengan potensi otak menjadi manusia brilyan. Namun, cara mengajar dan mendidik guru yang kuno dan satu arah mengakibatkan siswa hanya duduk, dengar, catat, dan hafal. Sistem ujian nasional kita justru mendukung cara mengajar kuno ini melalui penggunaan model soal pilihan ganda yang kurang mendorong kreativitas berpikir dan kemampuan memecahkan masalah.

Di dunia ini tidak ada masalah belajar. Yang ada adalah masalah mengajar. Mengapa yang salah mengajar dan mengelola pendidikan tidak terkena sanksi apa pun. Mengapa hanya siswa yang menangis malu dan histeris lalu pingsan mendengarkan namanya termasuk dalam daftar peserta yang tidak lulus diberi sanksi tidak lulus? Adilkan ini?

Sistem ujian nasional sebenarnya mudah sekali diubah untuk menghindari tim sukses yang terdiri dari guru dan kepala sekolah serta pengawas memberikan jawaban kepada siswa setelah soalnya dikerjakan pendidik itu. Atau, siswa mendapatkan bocoran soal sebelum ujian nasional. Pakai saja bentuk soal uraian atau esai. Siswa diperbolehkan membawa buku pelajaran dan membukanya, juga rumus-rumus Matematika dan Fisika. Jika soal esai  yang disusun menuntut penalaran siswa, walaupun ia membuka buku pelajaran dan rumus tak ada gunanya ia membuka buku  karena tuntutan penalaran untuk menjawab soal. Mudah sekali, bukan?

Alternatif solusi yang lain adalah menerapkan tes terstandar (standardized test) yang juga dipakai di Amerika Serikat dan Inggris. Di tengah semester atau setelah satu semester atau satu tahun, di kelas-kelas tertentu di SD, SMP, dan SMA siswa diwajibkan mengerjakan tes terstandar yang dikerjakan dan diterbitkan serta didistribusi Pusat Penilaian Pendidikan Nasional Balitbang Kemdiknas. Dengan memeriksa hasil tes ini, guru dapat mendiagnosis kelemahan siswa dan selanjutnya melakukan perbaikan dalam proses belajar-mengajar.

Pada akhir tiap jenjang SMA siswa mengikuti ujian nasional namun tiap siswa diberi kebebasan memilih mengikuti ujian mata pelajaran yang dia kuasai dan sesuai dengan rencana studinya di perguruan tinggi. Ujian nasional ini hendaknya terdiri dari ujian tulis dan praktik. Jika ia ingin masuk fakultas kedokteran misalnya, ia hanya memilih mengikuti ujian mata pelajaran Kimia, Biologi, dan Matematika. Jika ia ingin masuk fakultas teknik, ia hanya ikut ujian Fisika, Matematika, dan mungkin Bahasa Inggris. Jika ia ingin masuk fakultas sastra, program studi sastra Inggris, ia hanya memilih ikut ujian mata pelajaran Bahasa Inggris, Sejarah, dan Antropologi atau Sosiologi. Dengan mengantongi nilai kelulusan mata-mata pelajaran tertentu ini, lulusan SMA langsung diperbolehkan mendaftar di perguruan tinggi. Apa susahnya sih menempuh alternatif solusi ini?

Karena konsep kita soal UN ini tidak matang dan tidak cerdas, tiap tahun kita saksikan tragedi siswa merasa gagal, kasus pembocoran soal dan jawaban, dan sederet masalah yang membuat siswa merasa trauma dan konsep kegagalan telah kita tanamakan dalam hati sanubarinya. Karena kita kurang cerdas berpikir, tiap tahun tak kunjung berhenti polemik tentang relevan atau tidak relevannya ujian nasional dipertahankan. Jika kami amati betapa susah dan keteter Mendiknas menjawab gugatan anggota DPR dan pertanyaan wartawan. Demikian pun, anggota DPR juga dibuat pusing mempersoalkan sistem ujian yang diskriminatif ini. Seharusnya think tank di Kemdiknas-lah yang mencari solusi yang tepat untuk memperbaiki sistem ujian nasional yang buruk ini. Namun, tampaknya tidak ada think tank itu. BSNP juga bingung hendak berbuat apa dan daripada memikirkan solusi yang lain, lebih baik jalankan sistem yang rutin. Sampai kapan kita terkurung dan tersandera oleh pola pikir konvensional ini?

Sebenarnya, contoh yang baik dari berbagai negara sudah ada. Kita tinggal belajar dari negara-negara itu. Tahun ini India mereformasi sistem ujiannya dan bentuk soal pilihan ganda itu telah mereka kuburkan dalam kubur tradisi pendidikan yang kuno. Sistem ujian nasional Singapura dan Malaysia jauh lebih baik karena ada ujian praktik di samping ujian tulis. Mengapa kita tidak cerdas dan seolah tak bisa melihat negeri tetangga dan meniru yang baik dari mereka? Quo vadis dunia 
pendidikan Indonesia?
Silahkan baca juga goresan puisi berikut ini!

TANPA JUDUL 192
Oleh Martin Bhisu
Negeriku Indonesia
negeri tumpah darah,
serta air mata rakyat jelata
di sana indahnya bentangan pulau
bersama gunung-gunung yang tinggi dan buas,
tumpukan revolusi anti-korupsi.
Negeriku Indonesia
negeri siang dan malam penuh teror
bayang-bayang kejahatan hingga melacuri mimpi
tentang darah dan keringat rakyat jelata yang mengalir
tumpah ruah di lautan duka,
anakmu menangis, tiada air mata
berjuang hingga tumpah darah, darah tiada.
Negeriku Indonesia
negeri anak-anak suka nyontek
pemerintah dan guru-guru dengan dedikasi yang luntur
menabur benih-benih korupsi sejak dini
hidup enak di negeri ini tanpa kerja keras
mengajar melukis garis-garis pembatas
agar generasi baru selalu berada di bawah garis kemiskinan.
Guayaybi, Paraguay, 07 de mayo de 2010

Diposting oleh SUPER HERBALIS Selasa, 22 Mei 2012

0 komentar

Posting Komentar

Subscribe here